Seminari Menengah Wacana Bhakti

14 November 2008

Gembala yang setia??????


Menjadi Gembala Setia di Tengah Metropolitan

Sejak saat itu, mataku terbuka akan gemerlapnya dunia. Seberkas cahaya terang muncul menghadang di hadapan mataku. Aku semakin sadar betul, bahwa dunia yang aku pilih ini sungguh berbeda. Dunia yang mungkin dihindari oleh banyak orang, bahkan ditolak. Tapi itulah kenyataan hidupku. Orang banyak berkata bahwa aku ini nekat, bahkan ada yang menyebut aku ini gila. Tapi inilah jalan hidup yang aku pilih. Dengan bermodalkan ketulusan hati dan kemauan aku pun menyediakan diriku untuk siap dibentuk, dibina, dan diarahkan menjadi gembala yang selalu setia di tengah perkembangan zaman yang semakin kompleks ini. Aku dengan sadar menyerahkan diriku ke dalam lembaga pendidikan calon imam, yaitu Seminari Menengah Wacana Bhakti.
Tak terasa sudah dua tahun aku dibentuk dan dibina di Seminari. Banyak pengalaman yang sudah aku dapatkan. Bagiku pengalaman itu adalah guru yang terutama dari yang utama. Secara tidak langsung aku dipaksa untuk menjadi dewasa. Tapi memang itulah tuntutan yang diberikan padaku. Seminari membuka mataku lebih lebar. Memang fisikku berada di dalam wilayah Seminari, tetapi pikiranku terbuka jauh ke dunia luar. Aku bisa bermimpi dan menggunakan imajinasi dalam menghadapi sesuatu masalah. Aku sering menyebutnya kontemplasi. Seperti kata Giring vokalis grup band Nidji dalam lagunya yang berjudul Laskar Pelangi yaitu, Mimpi adalah kunci untuk menaklukan dunia.
Sekarang aku memiliki dunia yang berbeda, dulu aku melihat sesuatu secara subyektif, yaitu memandang orang dengan menekankan kata “siapa”. Sekarang mataku terbuka untuk memandang orang dengan menekankan kata “apa”. Ini merupakan pengalaman paling istimewa dalam hidupku. Sesuatu yang dapat mengubah pola pikirku sampai 180 derajat. Kata orang banyak itu hanyalah omong kosong. Tetapi bagiku itu adalah pengalaman hidup yang tidak akan pernah aku lupakan.
Dengan pengalaman – pengalaman yang aku miliki itu, maka teman – teman mempercayakan sebuah tanggung jawab kepadaku. Aku terpilih menjadi ketua dalam Expo panggilan di Paroki Stefanus, Cilandak. Diperlukan sebuah tanggung jawab yang besar untuk melaksanakannya. Aku menerima tanggung jawab itu. Aku yakin bisa melaksanakan tugas itu dengan baik. Karena aku dibentuk untuk melaksanakan tugas kegembalaan.
Aku memberikan diriku sepenuhnya untuk menjalani tugas itu. Tiga bulan sebelum acara, aku sudah membentuk panitia pelaksana. Itu menjadi awal perjalanan dari tugas kegembalaanku. Aku memilih teman – teman berdasarkan keinginan mereka. Aku tidak memilih berdasarkan kemampuan, karena aku yakin bahwa semua teman – temanku adalah orang yang berkualitas. Dengan kemauan semua yang sulit menjadi mudah, karena semua rencana akan baik adanya jika dalam diri pelaksana memiliki kemauan untuk membuatnya menjadi sukses.
Segala sesuatu sudah kupersiapkan dari awal. Semua perlengkapan dan dekorasi sudah siap satu bulan sebelum Expo. Aku yakin ini menjadi titik awal keberhasilanku. Aku teringat akan nasehat kedua orangtuaku bahwa sebelum perang siapkanlah amunisimu terlebih dahulu baru menyerang. Jangan menyerang tanpa menyiapkan amunisi terlebih dahulu. Nasehat ini menjadi salah satu pedoman hidup yang terus aku pegang selama aku menjadi calon gembala. Apa yang engkau persiapkan akan menjadi tanda kesuksesanmu.
Semua persiapan sudah aku siapkan dengan baik, tetapi hatiku tetap belum tenang. Apakah yang membuat hatiku masih gundah? Aku bingung, mengapa sampai H-10 belum ada komunikasi dengan pihak gereja Stefanus? Padahal menurutku itulah yang terpenting dari segalanya. Setiap kali kutanyakan pada frater, tapi ia tidak pernah menjawabnya. Aku semakin bingung dengan disinteraksi yang terjadi. Aku hanya bisa menerima karena aku pun disibukan dengan ulangan mid semester.
Hatiku semakin bingung ketika seminggu sebelum Expo, banyak seminaris yang ikut Temu Kolese. Padahal banyak panitia Expo yang ikut acara tersebut. Aku semakin bingung dengan keadaan sekarang. Padahal hanya tinggal seminggu lagi kami akan Expo Panggilan. Teman – teman menyadari kegundahan hatiku, sehingga mereka mencoba untuk menenangkanku.


Akhirnya waktu yang ditunggu – tunggu tiba, kami panitia dari seminari bertemu dengan panitia dari Paroki Stefanus. Kami membicarakan banyak hal untuk memperlancar acara ini. Aku sebenarnya mengharapkan ini sejak sebulan yang lalu. Tapi aku bersyukur karena masih sempat berkoordinasi dengan pihak Stefanus.
Saat aku terbangun, aku menyadari bahwa hari ini hari Kamis. Hari Kamis menjadi awal dari semua kegiatan. Hari ini kami akan mengangkat panggung dan menatanya di dalam Gereja Stefanus. Kegiatan ini membutuhkan kesetiaan yang yang lebih. Kami mempersiapkannya dari pagi, kemudian kami berangkat sekitar pukul dua siang menuju ke gereja Stefanus. Sesampainya disana kami langsung bergerak memindahkan barang – barang. Kami dengan sigap malaksanakan semua tanggung jawab yang ada. Pada akhirnya, aku menyelesaikan tugasku untuk hari ini. Panggung sudah siap, dan semua peralatan sound system siap memperkeras alunan musik kami. Aku pulang dengan hati yang tenang karena semua berjalan lancar hari ini. Semua itu tak lepas dari rahmat Tuhan yang menaungi kami sepanjang hari ini.
Aku menghadapi hari baru dengan senyuman kecil. Aku berharap tiga hari ini menjadi akhir dari perjuanganku selama tiga bulan ini. Hari ini kami akan melakukan gladi bersih bersama dengan koor. Aku yakin hari ini akan berjalan dengan lancar. Selain mempersiapkan segala bentuk koordinasi, aku juga mempersiapkan diriku untuk bermain alat musik. Karena aku memiliki beban tersendiri.
Aku sadar bahwa diriku adalah orang satu – satunya dalam komunitas kecilku yaitu angkatan yang memainkan alat musik yang masuk dalam kelompok brass, atau orang biasa menyebutnya alat musik tiup. Aku mempunyai tanggung jawab untuk melatih adik – adik kelasku karena saat ini akulah tulang punggung dalam kelompok tersebut. Sekarang aku hanya bisa berdoa pada Tuhan agar aku selalu dikuatkan dalam segala kenyataan yang ada. Tetapi aku merasa sama sekali tidak terbebani dengan tanggung jawab yang diberikan ini. Karena aku sadar tantangan di depanku pasti akan lebih besar dari yang kuhadapi sekarang. Tantangan itu adalah umat katolik di Keuskupan Agung Jakarta yang semakin kompleks dalam kehidupannya. Mulai dari sekarang aku sudah harus membuka mata dengan hal – hal seperti itu.
Akhirnya sabtu itu pun tiba. Aku bersama dengan 44 teman yang lain datang untuk mencari teman seperjalanan dari paroki Stefanus. Karena kami tidak memungkiri bahwa selama 5 tahun terakhir, tidak ada satu pun seminaris Wacana Bhakti yang berasal dari paroki Stefanus. Tujuan kami datang kesana adalah untuk menumbuh kembangkan benih panggilan yang ada dalam diri anak muda. Aku menyadari bahwa zaman sekarang sulit bagi kaum muda untuk menolak kenikmatan – kenikmatan duniawi. Dengan berkembangnya zaman yang semakin global, kaum muda seakan akan menjauhkan diri dari panggilan Tuhan itu sendiri.
Aku sangat tertarik dengan reflaski yang diberikan oleh frater – frater dari Salesian Don Bosco bahwa Tuhan tidak akan pernah berhenti memanggil kita, Tuhan selalu memanggil kita. Tetapi pertanyaannya adalah apakah kita mau menanggapi panggilan yang berasal dari Tuhan itu? Ini yang menjadi refleksiku saat aku mau memutuskan untuk masuk seminari. Tapi aku yakin bahwa Tuhan selalu menjaga orang – orang yang telah menanggapi panggilannya.
Aku juga merasa senang bahwa pada hari minggu diadakan sebuah pertemuan dengan mudika dam putra – putri altar. Dengan acara seperti ini, aku sendiri mempunyai misi yang pada intinya mengajak kaum muda untuk mau menanggapi panggilan Tuhan. Pertemuan ini seakan akan mengebalikan inggatanku pada kotbah bapak uskup saat Hari Orang Tua Seminaris. Bapak uskup menyatakan bahwa uskup yang baik berasal dari imam yang baik. Dan memang ini betul adanya. Tetapi juga harus diingat bahwa imam yang baik berasal dari calon imam yang baik. Jadi calon imam yang baik juga penting. Bahkan calon imam yang baik berasal dari anak yang baik, anak yang baik datang dari keluarga yang baik. Maka dari itu semua aspek itu penting untuk menumbuh kembangkan panggilan imamat. Dengan begitu aku semakin mantab dengan panggilanku sekarang ini.
Dengan melihat realita yang terjadi dalam umat katolik di Keuskupan Agung Jakarta, aku semakin tertantang untuk menjadikan diriku gembala yang baik. Karena Yesus sendiri adalah seorang gembala yang sayang pada anak – anaknya. Tetapi aku juga harus sadar akan kemajuan zaman yang terjadi. Dengan bekal seperti itu, aku dapat membuat suatu inovasi baru dalam menghadapi umat Jakarta ini. Aku yakin bahwa gembala yang baik akan selalu dilindungi dan diberkati oleh Tuhan sendiri.


“Ajarilah kami menjadi Gembala yang baik sepertiMu
Bagi sesama kawanan domba demi mulialah namaMu”
Syair “Ajarilah Kami Menjadi Gembala Baik”
Lagu : L Putut Pudyantoro
Syair : A. Susilo Wijoyo Pr


Andreas Subekti
Seminari Menengah Wacana Bhakti